Senin, 09 Juni 2014

will never go away (just a story)


Hidup itu terlalu rumit untuk didefinisikan. Kadang, dia membuatmu tertawa girang dengan segala kelucuannya. Kadang membuatmu terpuruk karena berbagai masalahnya. Kadang, dia juga membuatmu menangis karena segala deritanya.
Aneh kan?. Memang. Tapi, tau nggak?. Sebenarnya hidup itu berguna banget buat kita. Buktinya dia ngasih kita masalah untuk kita selesaikan. Dia juga ngasih kita tantangan. Mungkin sebagian orang salah mengartikan tantangan ini sebagai sebuah ketakutan. Tapi yang jelas, setahuku tantangan dalam hidup itu harus ditaklukan. Itu baru namanya manusia sejati. Kalau yang merasa ketakutan dengan tantangan, menurutku sih mereka itu pengecut. Karena mereka tidak mau mencoba. Mereka takut sebelum menghadapinya. Padahal ketakutan itu bisa dipatahkan jika kita mau. Jadi bagiku itu hal paling memalukan.
***
Tau hal apa paling menyenangkan sedunia?. Kalau enggak, coba deh liat keadaan gue sekarang. Jangan terlalu jauh. Lihat gue lebih dekat, tepat di hadapan gue. Dan lihat baik – baik.            
Gue abis kemo. Sekarang, gue lagi bersusah payah ngelawan rasa mual di perut gue.Hahaha lo pasti heran kan?. Kenapa gue bilang ini menyenangkan?. Iya sih rasanya emang nggak enak. Tapi lo udah liat siapa yang ada di samping gue?.
Semuanya ada. Nyokap, bokap, kakak, dan... Alex. Pacar gue. Semuanya ada buat gue. Gue yang bukan apa – apa ini, ternyata masih ada banyak orang yang mau nyuport gue. Nemenin gue. Demi gue, mereka bahkan rela waktu mereka hilang cuma buat nemenin gue yang Cuma bisa tidur di kasur tanpa daya.
Siapa gue?. Gue bukan ratu, gue juga bukan presiden. Tapi mereka ikhlas untuk selalu ada di samping gue. Gimanapun, dan apapun keadaannya. Gue manusia paling beruntung di dunia kan?. Tentu. Anak presiden aja belum tentu bisa ngedapetin kesempatan kayak gue sekarang.
Nggak peduli deh meski gue harus sakit separah ini. Asalkan gue bisa berada diantara mereka, gue udah seneng banget kok. Gue udah bahagia.
“Kamu kenapa?. Masih mual?”. Alex menggenggam tangan gue. Erat banget. Tatapannya Cuma buat gue. Dalem, dan rasanya teduh banget. Itu alasan gue kenapa gue suka banget sama tatapan dia.
“Kamu nggak apa apa kan sayang?”. Dari sisi lain, mama ngusap kening gue. Kening yang udah basah sama keringat dingin itu diusap mama tanpa ragu. Yaampun. Beruntungnya gue punya mereka.
Gue menggeleng. Seulas senyum gue sunggingkan supaya mereka lega. Gue nggak mau mereka terlalu khawatir sama gue. Udah cukup selama ini mereka ngerasa panik dengan keadaan gue. Setiap kali gue abis kemo, mereka selalu ngerumunin gue. Dengan tatapan penuh kekhawatiran. Dan gue nggak suka kalau mereka bersikap kayak gitu ke gue. Gue Cuma pingin hidup normal kayak yang lainnya. Gue nggak mau Cuma karena penyakit, gue jadi diistimewakan.
“Tapi lo diem aja. Lo masih mual?”. Kak jimmy ikut menyahut. Dia keliatan khawatir banget. Dia kakak terbaik yang gue punya. Meski dia kadang nyebelin, gue tetep suka sama dia. Karena aslinya dia itu baik. Perhatian. Walaupun jail gitu orangnya.
“Gue nggak apa apa. Khawatir lo lebay sumpah”. Suara gue masih lemah.
“Kakak kamu Cuma khawatir sama kamu Ve”. Papa membela kak Jimmy. Lagi – lagi dialog seperti ini. gue udah hafal banget. Soalnya mereka selalu ngobrolin ini kalau gue abis dikemo.
Hidup gue sinetron banget kan?. Dan gue, pemeran utamanya. Lucu banget kedengarannya. Tapi ini real. Ini yang beneran terjadi sama gue.
“Iya pa. Ve tau. Ve kan Cuma punya orang – orang baik di sekitar Ve. Kayak papa, mama, kak Jimmy, dan.. Alex”. Aku tertawa renyah. Sementara mereka hanya tersenyum simpul. Keliatan banget deh kalau mereka masih amat sangat khawatir sama gue.
“Ve sekarang mau jalan – jalan dong. Tapi sama Alex aja. Boleh nggak?”. Tanya gue. Dan nggak ada respon apapun. Mama, Papa, sama kak Jimmy Cuma saling lempar tatapan. Tapi akhirnya mereka ngangguk juga sih.
Jadi, sekarang gue lagi duduk di kursi roda. Di dorong sama Alex. Kita lagi jalan – jalan di taman rumah sakit. Jangan tanya gimana pemandangannya. Karena sejauh mata memandang, gue Cuma liat orang pucet sama infus doang. Kayak gue sekarang ini. hahaha
“Alex..”. Panggil gue.
“Mmmm”.
“Gue mau tanya deh sama lo”.
“Tanya apa?”. Alex menghentikan langkahnya. Kemudian dia duduk di salah satu bangku rumah sakit. Kursi gue dihadapkan ke dia. Dan dia menggenggam tangan gue.
“Kalau misalkan kamu pergi, kamu bakal inget aku terus apa nggak?”.
Alex tercengang pas gue nanya itu. genggaman tangannya sedikit mengendur. “Kok kamu nanya gitu. Aku nggak akan pergi kemana – mana. Aku akan tetap di samping kamu. Nemenin kamu”. Alex menjawab dengan percaya diri.
“Oh ya?. Wow..”. Gue tersenyum tipis. “Tapi, gimana kalau aku yang pergi?”. Tanyaku lagi. Tatapan Alex langsung tertuju ke gue. Itu tatapan yang baru gue liat sakali seumur hidup gue. Bukan tatapan penuh keteduhan. Tapi itu tatapan.. ah gue juga nggak tau apa arti tatapan itu.
“Nggak ada yang akan pergi. Aku, ataupun kamu. Ngerti?”. Genggaman tangannya semakin dipererat. Dan gue yakin. Alex sedang bergulat dengan rasa khawatirnya sekarang.
“Tapi gimana kalau kenyataannya berbeda?”. Gue mengelak. Mencoba memojokkan Alex supaya dia mau menjawab pertanyaan dari gue.
“Veiry Ve. Please. Don’t talk anymore. I don’t want you to ask me the same again. I will remain beside you. Whatever happens.” Alex berlutut di hadapan gue. Dia sentuh wajah gue. Lembut banget.
“Tapi kita harus realistis. Pada akhirnya harus ada yang pergi diantara kita”. Tes. Air mata gue jatuh pas gue ngutarain itu sama Alex. Rasanya sakit banget. Lebih sakit daripada gue pas kemo.
“Stop it please”. Alex langsung meluk gue. Gue tenggelam di dada bidangnya. Gue menangis disana tanpa suara.
Alex meluk gue seakan dia nggak mau kehilangan gue.  Dia usap ubun – ubun gue. Dia beneran nggak mau kehilangan gue. Begitupun dengan gue.
Gue dorong  Alex secara perlahan. “Tapi aku udah nggak mau kamu ada disamping aku. Kamu harus pergi”. Gue buang muka. Nggak sanggup ngeliat raut muka Alex yang udah berubah.
“Kenapa?”. Alex ngerengkuh wajah gue. Matanya udah memerah.
“Aku udah nggak mau ditemenin sama kamu. Aku bosen”. Gue tepis tangan Alex. Ekspresinyasudah menyendu sejak beberapa detik lalu. Dan gue semakin nggak tega ngeliat dia.
Sebisa mungkin gue berusaha berdiri. Gue pergi dari Alex. Gue nggak mau semakin lama gue ada di hadapan dia, gue semakin gabisa ngerelain dia buat pergi.
“Ve. Please. Kasih aku alasan yang jelas. Kamu nggak bisa gini Ve sama aku”. Alex meluk gue dari belakang. Suaranya terdengar berat. Gue yakin dia lagi nangis sekarang ini. Alex kan kecil banget hatinya. Pas dia ngeliat gue muntah pas abis kemo aja, mata dia udah dipenuhin sama air mata. Yah walaupun nggak sampai nangis juga sih.
***
Alex beneran pergi sejak gue bilang gue udah nggak mau ditemenin dia lagi. Gue lega sih, akhirnya dia mau nurut. Tapi disisi lain, hati gue menjerit. Gue rasa gue udah jadi manusia paling munafik sedunia karena gue udah bohong sama perasaan gue sendiri. Gue masih mau sama Alex, ditemenin dia, dimanjain dia. Tapi gue nggak bisa seegois itu kan?. Alex nggak boleh kena masalah Cuma karena cewek penyakitan kayak gue.
Kalau bukan sekarang, kapan lagi gue bisa balas budi ke dia. Besok?. Lusa?. Gue nggak yakin. Gimana kalau gue pergi sebelum gue bisa balas budi?.Gue harus relain dia meski hati gue menjerit. Sesesak apapun dada gue, gue harus bertahan. Demi kehidupan Alex.
Gue jalan sendiri di sekitar taman rumah sakit. Dorong tiang infus sendiri. Biasanya sih Alex yang dorongin. Tapi sekarang udah beda. Dan gue harus mulai terbiasa dengan keadaan ini.
Baru jalan sekitar lima menit, gue udah lemes banget. Mungkin ini efek dari penyakit gue. Jadi energi gue ngga sebanyak dulu. Gue duduk di bangku. Menghela nafas sebentar. Gue nggak tau kenapa kepala gue pusing banget. Perut gue juga mual setengah mati. Gue heran. Gue sedang nggak kemo hari ini, tapi kenapa ini bisa terjadi?. Apa penyakit gue semakin parah?.
Gue urut urut sendiri pelipis gue. Tapi rasa pusing itu nggak kunjung hilang. Malah semakin parah. Pandangan gue juga mulai mengabur. Semuanya udah nggak jelas. Tapi samar gue lihat seseorang mendekat ke arah gue. Orang itu membawa ransel di punggungnya. Dia juga pakai topi. Dengan inisial huruf “A”.
Gue berusaha untuk mengenali orang itu. Gue rasa gue kenal sama dia. Aroma parfum dia, dada bidang dia. Ah.. gue tau. Dia Alex. Tapi saat gue sadar kalau orang itu adalah Alex. Gue udah nggak snggup buat ngebuka mata gue. Gue udah terlalu nyaman buat tidur. Buat kehilangan rasa sakit gue selamanya.

~Beberapa waktu lalu~
Gue nggak tau kenapa Ve bisa tiba – tiba nyuruh gue pergi. Apa dia tau kalau gue harus pulang karena nyokap bokap gue cerai. Gue bahkan nggak peduli sama hal itu. gue Cuma mau nemenin Ve. Udah cukup itu doang.
Nggak peduli meski gue nggak bisa ngeliat orang tua gue lagi secara utuh. Gue nggak peduli. Sumpah. Gue juga nggak tau kenapa mata gue berat banget rasanya. Perih. Dan agak berair gitu. Gue juga mulai susah nafas. Rasanya asupan oksigen menghilang gitu aja. Gue kesulitan bernafas. Dan semua yang gue rasain tercekat di tenggorokan. Itu sakit sumpah!.
Gue duduk di bangku gue sambil nunggu bis berangkat. Nggak ada yang bisa gue lakuin. Gue Cuma diem. Mengatupkan rahang kuat – kuat supaya rasa sakit gue berangsur hilang. Tapi hasilnya nihil. Sakit itu masih aja terasa. Sampai gue sadar kalau handphone gue bergetar.
Kak Jimmy
Lo harus balik lagi kesini. Ve galau karena lo tinggal. Gue takut dia kenapa kenapa
Itu pesan dari Kak Jimmy. Gue langsung turun dari bis. Langsung nyari taksi.tapi susah banget nyari taksi di tempat kayak ginya. Alhasil gue lari pontang panting ke rumah sakit. Gue Cuma lari, lari, dan lari.
Gue beradu dengan nafas gue sendiri. Dari kejauhan, gue liat Ve. Dia lagi jalan – jalan di taman rumah sakit. Wajahnya semakin pucat. Dan gue Cuma bisa liat dia dari kejauhan. Gue nggak berani mendekat. Gue Cuma bisa liat dia dari balik pohon. Gue liat dia. Diam, murung, tanpa senyum. Apa dia lagi keinget gue?. Semoga aja iya.
Tunggu. Kenapa dengan dia?. Dia mengurut pelipisnya sendiri. Apa dia pusing?. Apa dia kesakitan lagi?. Lagi – lagi gue Cuma bisa ngeliat dia dari jauh. Gue nggak bisa nyamperin dia.
Semakin lama dia semakin pucat. Tangannya berpegang pada tiang infus. Apa dia merasa sangat lelah?. Gue melangkah mendekat. Dia semakin pucat saja. Dan gue udah nggak tahan. Gue samperin dia. Gue rengkuh dia. Dan dia nggak sadarkan diri. Gue panggil namanya berkali – kali. Gue goncang tubuhnya berkali – kali. Tapi dia tetep nggak sadar.
Gue gendong dia ke kamarnya. Terus dokter dateng. Meriksa tubuh lemah Ve. Kemudian dokter keluar. Dia menggeleng. Memberi signal buruk untuk kondisi Ve. Dan saat itu gue sadar, Ve udah bermimpi di alamnya.
End
#Wah jadinya sebanyak ini. padahal niatan awal Cuma mau bacaan singkat penghantar ucapan terimakasih. Hahahaha. Maap udah nyampah..
Ini Cuma penyampaian rasa terimakasih lia kok. Makasih buat yang udah selalu ada buat lia. Apapun, kapanpun, gimanapun kondisinya.
Big thanks to:
Kakak yang udah suplay apapun kebutuhan lia, buat emak juga sih. Ratri sama maulfi yang udah setia nemenin di berbagai kondisi. Ciee..
Deta, mbak keri, amel sama endah. Makasih udah banyak bantu. Lina juga yang udah selalu sepaham sama lia. Buat semua yang udah bantu makasih banyak~
Big love, big thanks, big hug <3 ^^;

Tidak ada komentar :

Posting Komentar