Minggu, 01 Desember 2013

Miss You

3 Tahun masa putih abu - abu telah terlewati dengan baik. Penuh keceriaan, canda tawa, juga ukiran prestasi.
Rasa pusing yang memekakkan selama ujian nasional akhirnya terbayar dengan selembar kertas bernama ijazah dengan penuh kebanggaan. Prustasi karena soal 20 paket kemarin juga sudah mengudara. Semuanya sudah terlewati.
Acara wisuda siswa siswi SMA 1 HARAPAN hampir dimulai. Tapi tetap saja, para siswi masih sibuk kesana kemari meski repot karena harus berjalan dengan balutan kebaya. Entah hanya untuk membenahi make up atau berfoto bersama keluarga pada momen yang membahagiakan ini. Intinya mayoritas dari para siswi tidak ada yang bisa diam. Barang satu menit pun.
Hampir semua siswi melakukan itu. Kecuali satu. Gadis yang berada disudut masjid itu hanya diam. Duduk dalam posisi memeluk lututnya sendiri. Matanya berair. Dan dia tampak rapuh.
"Tidak ikut seperti yang lain?". seorang laki laki duduk di sampingnya. Gadis itu menoleh. Kemudian mengubah ekspresinya secepat mungkin agar terlihat natural.
"Mungkin tidak. Aku ingin mencari ketenangan di sini". Gadis itu menjawab. Membuat senyum simpul di wajahnya.
"Benarkah? Apa kau sudah dapat ketenangan itu?".
"Sedang kucari".
"Apa kau ingin menangis untuk mendapatkannya? Sudah tidak apa apa menangislah. Aku ada di sini. Bersamamu". Laki laki itu mengusap pipinya. Air matanya merembes. Gadis itu benar benar merasa sesak.
"Apa harus acara seperti ini dilakukan? Benarkah?". Gadis itu mulai terisak.
"Ini bentuk penghargaan untuk kita. Setelah 3 tahun berkutat untuk menuntut ilmu. Kau tidak suka?". Laki laki itu menjelaskan. Sementara gadis di sebelahnya hanya mengangguk.
"Aku tau sebenarnya bukan acara ini yang tidak kau sukai. Kau hanya tidak menyukai pemandangan seperti ini kan?". Laki laki itu berucap lagi.
"Aku tidak tau. Aku hanya..aku..sebenarnya aku marah pada duriku sendiri saat melihat hal seperti ini. Aku selalu iri melihat anak - anak perempuan itu bercengkrama dengan orang tuanya. Mereka terlihat bahagia sekali kan?Sementara aku? Tidak pernah sedikitpun berbahagia meskipun dengan orang tuanya sendiri. Aku iri. Sungguh. Saat ini, apa salah jika aku berharap untuk kehilangan ingatan? Aku benar benar tidak sanggup mengingatnya. Aku sumber malapetaka. Kau tau kan, siapa yang membuat orang tuaku pergi dari dunia ini untuk selamanya?. Itu aku. Aku adalah seorang pembunuh. Setiap saat aku berdoa, agar waktu dapat terulang kembali dan aku tidak akan pernah menyuruh orangtuaku untuk mengunjungiku disini. Dengan begitu mereka akan terhindar dari kecelakaan pesawat itu kan? Dan mungkin aku masih bisa merengkuh mereka saat ini". Gadis itu bergetar hebat. Isakannya mulai terdengar dengan jelas.
"Itu sudah jalan Tuhan. Jangan pernah sesali itu mengerti?. Hey lagi pula kau masih punya aku. Aku pacarmu. Calon suami kamu. Orang tua aku sama aja orang tua kamu. Mengerti? jadi jangan pernah merasa sendiri lagi. Ada kami disisimu". Laki laki itu merangkulnya dengan sebelah tangan. Kepalanya dibimbing untuk bersandar di bahu laki laki itu. Semuanya terasa nyaman. Dan itu berkat Rain. Laki laki yang selama ini menjadi sandaran hidupnya ketika dia terpuruk. Tempat beradu canda dalam kebahagiaan dan menangis bersama saat di terpa duka. Rain bukan keluarganya. Juga tidak ada hubungan darah dengannya. Rain hanya seorang manusia yang hadir dalam kehidupannya. Membawa sebuah kasih sayang dalam bentuk cinta. Kemudian merangkap peran orang tua baginya. Dia, gadis manis yang tengah rapuh hatinya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar