3 Tahun masa putih abu - abu telah terlewati dengan baik. Penuh keceriaan, canda tawa, juga ukiran prestasi.
Rasa pusing yang memekakkan selama ujian nasional akhirnya terbayar
dengan selembar kertas bernama ijazah dengan penuh kebanggaan. Prustasi
karena soal 20 paket kemarin juga sudah mengudara. Semuanya sudah
terlewati.
Acara wisuda siswa siswi SMA 1 HARAPAN hampir dimulai. Tapi tetap
saja, para siswi masih sibuk kesana kemari meski repot karena harus
berjalan dengan balutan kebaya. Entah hanya untuk membenahi make up atau
berfoto bersama keluarga pada momen yang membahagiakan ini. Intinya
mayoritas dari para siswi tidak ada yang bisa diam. Barang satu menit
pun.
Hampir semua siswi melakukan itu. Kecuali satu. Gadis yang berada
disudut masjid itu hanya diam. Duduk dalam posisi memeluk lututnya
sendiri. Matanya berair. Dan dia tampak rapuh.
"Tidak ikut seperti yang lain?". seorang laki laki duduk di
sampingnya. Gadis itu menoleh. Kemudian mengubah ekspresinya secepat
mungkin agar terlihat natural.
"Mungkin tidak. Aku ingin mencari ketenangan di sini". Gadis itu menjawab. Membuat senyum simpul di wajahnya.
"Benarkah? Apa kau sudah dapat ketenangan itu?".
"Sedang kucari".
"Apa kau ingin menangis untuk mendapatkannya? Sudah tidak apa apa
menangislah. Aku ada di sini. Bersamamu". Laki laki itu mengusap
pipinya. Air matanya merembes. Gadis itu benar benar merasa sesak.
"Apa harus acara seperti ini dilakukan? Benarkah?". Gadis itu mulai terisak.
"Ini bentuk penghargaan untuk kita. Setelah 3 tahun berkutat untuk
menuntut ilmu. Kau tidak suka?". Laki laki itu menjelaskan. Sementara
gadis di sebelahnya hanya mengangguk.
"Aku tau sebenarnya bukan acara ini yang tidak kau sukai. Kau hanya
tidak menyukai pemandangan seperti ini kan?". Laki laki itu berucap
lagi.
"Aku tidak tau. Aku hanya..aku..sebenarnya aku marah pada duriku
sendiri saat melihat hal seperti ini. Aku selalu iri melihat anak - anak
perempuan itu bercengkrama dengan orang tuanya. Mereka terlihat bahagia
sekali kan?Sementara aku? Tidak pernah sedikitpun berbahagia meskipun
dengan orang tuanya sendiri. Aku iri. Sungguh. Saat ini, apa salah jika
aku berharap untuk kehilangan ingatan? Aku benar benar tidak sanggup
mengingatnya. Aku sumber malapetaka. Kau tau kan, siapa yang membuat
orang tuaku pergi dari dunia ini untuk selamanya?. Itu aku. Aku adalah
seorang pembunuh. Setiap saat aku berdoa, agar waktu dapat terulang
kembali dan aku tidak akan pernah menyuruh orangtuaku untuk
mengunjungiku disini. Dengan begitu mereka akan terhindar dari
kecelakaan pesawat itu kan? Dan mungkin aku masih bisa merengkuh mereka
saat ini". Gadis itu bergetar hebat. Isakannya mulai terdengar dengan
jelas.
"Itu sudah jalan Tuhan. Jangan pernah sesali itu mengerti?. Hey lagi
pula kau masih punya aku. Aku pacarmu. Calon suami kamu. Orang tua aku
sama aja orang tua kamu. Mengerti? jadi jangan pernah merasa sendiri
lagi. Ada kami disisimu". Laki laki itu merangkulnya dengan sebelah
tangan. Kepalanya dibimbing untuk bersandar di bahu laki laki itu.
Semuanya terasa nyaman. Dan itu berkat Rain. Laki laki yang selama ini
menjadi sandaran hidupnya ketika dia terpuruk. Tempat beradu canda dalam
kebahagiaan dan menangis bersama saat di terpa duka. Rain bukan
keluarganya. Juga tidak ada hubungan darah dengannya. Rain hanya seorang
manusia yang hadir dalam kehidupannya. Membawa sebuah kasih sayang
dalam bentuk cinta. Kemudian merangkap peran orang tua baginya. Dia,
gadis manis yang tengah rapuh hatinya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar